Laporan Landmine Monitor 2025 mengungkap bahwa sepanjang 2024 ada sekitar 6.270 insiden ranjau darat atau sisa ranjau yang meledak — termasuk 1.945 kematian dan 4.325 luka-luka. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak 2020.
Mayoritas korban adalah warga sipil; hampir setengah dari mereka adalah anak-anak dan perempuan — menegaskan kembali bahwa ranjau darat tetap menjadi ancaman berat terhadap populasi sipil, jauh dari medan pertempuran utama.
Sebagian besar ledakan terjadi di zona konflik di negara-negara yang belum meratifikasi pakta pelarangan ranjau, seperti Myanmar dan Syria di mana konflik bersenjata dan penggunaan ranjau masih intensif.
Yang memperburuk situasi, sejumlah negara Eropa belakangan memilih keluar dari perjanjian internasional pelarangan ranjau yang disebut sebagai Mine Ban Treaty (atau Ottawa Treaty). Negara-negara seperti Estonia, Latvia, Lithuania, Finlandia, dan Polandia menyatakan mundur dari perjanjian tersebut, dengan alasan kebutuhan keamanan menghadapi ancaman militer sebuah langkah yang dikhawatirkan akan melemahkan norma global anti-ranjau.
Kelompok kemanusiaan memperingatkan bahwa penarikan diri negara dari perjanjian pelarangan dan penurunan dana bantuan untuk pembersihan ranjau membuat jutaan warga di negara konflik berisiko. Pembersihan ranjau dan pendanaan bantuan korban juga dilaporkan menurun, memperparah krisis yang sudah ada.
Data terbaru menunjukkan bahwa ancaman ranjau darat tidak kunjung reda, bahkan meningkat drastis. Jika komunitas global tidak segera memperkuat komitmen terhadap pelarangan dan pembersihan ranjau, jutaan nyawa — terutama warga sipil tak berdosa, anak-anak dan perempuan tetap berada di bawah bayang-bayang bahaya. Ini menjadi panggilan mendesak bagi negara-negara untuk meninjau ulang kebijakan militer mereka dan terus mendukung mitigasi konflik serta pemulihan pasca-perang.
Comments
Leave a Reply