INDONESIA — Tidak banyak masyarakat dunia mengetahui bahwa di balik kawasan Kaukasus yang membentang di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia, pernah berdiri sebuah peradaban tua bernama Circassia. Bangsa ini kini tidak lagi tercatat sebagai negara, namun jejak sejarahnya menyimpan kisah kelam perpindahan paksa, perang panjang, hingga diaspora jutaan jiwa ke berbagai benua.
Circassia, dikenal juga sebagai Adyghe atau Cherkess, adalah bangsa asli yang selama berabad-abad menempati pesisir timur Laut Hitam dan barat laut Pegunungan Kaukasus. Mereka memiliki bahasa sendiri dari rumpun Northwest Caucasian serta tradisi sosial yang kuat, termasuk hukum adat, seni bela diri, dan tarian khas yang hingga kini masih dipertahankan.
Sejarah mencatat, pada abad ke-18 hingga ke-19, kawasan Circassia menjadi sasaran ekspansi Kekaisaran Rusia. Rangkaian konflik yang kemudian dikenal sebagai Russo–Circassian War berlangsung selama puluhan tahun. Di pertengahan abad ke-19, sejumlah kebijakan militer diterapkan: pembakaran desa, pembunuhan massal, pengepungan, dan pemindahan paksa penduduk.
Puncaknya terjadi sekitar tahun 1864, ketika gelombang besar deportasi mengirim ratusan ribu hingga lebih dari satu juta Circassian menuju wilayah Kekaisaran Ottoman. Banyak yang meninggal saat perjalanan akibat penyakit, kelaparan, atau perjalanan laut yang berat. Akibatnya, populasi Circassian di tanah asal menyusut drastis dan wilayah mereka secara efektif hilang dari peta geopolitik dunia.
Secara fakta historis, pemindahan paksa dan pembersihan wilayah Circassia memang terjadi. Namun penggunaan istilah “genocide” untuk menyebut tragedi ini masih menjadi topik kontroversial. Banyak akademisi dan organisasi Circassian mendukung istilah tersebut, sedangkan pemerintah Rusia menolaknya dan menyebut peristiwa itu sebagai bagian dari dinamika perang serta migrasi.
Meski begitu, sejumlah negara seperti Georgia telah mengakui peristiwa ini sebagai genosida pada level politik dan kemanusiaan.
Di era modern, Circassian menjadi salah satu diaspora terbesar di dunia. Diperkirakan ada 6 hingga 8 juta keturunan Circassian secara global. Mayoritas — sekitar 70 hingga 80 persen — tinggal di luar tanah asal, terutama di Turki, Yordania, Suriah, Israel, serta komunitas kecil di Eropa dan Amerika.
Sementara itu, di wilayah Kaukasus yang kini menjadi bagian dari Federasi Rusia, hanya tersisa sekitar 700.000–800.000 Circassian yang hidup di republik-republik seperti Adygea, Karachay-Cherkessia, dan Kabardino-Balkaria.
Walaupun negara mereka hilang dari peta, identitas Circassian tidak hilang dari sejarah. Bahasa, musik, tarian, serta memori kolektif tentang tragedi abad ke-19 masih dijaga ketat oleh komunitas diaspora. Banyak generasi muda di Turki, Timur Tengah, hingga Eropa kini semakin gencar menuntut pengakuan sejarah dan pemulihan identitas.
Kisah bangsa Circassia adalah cermin bagaimana sebuah peradaban besar bisa lenyap secara geopolitik, namun tetap hidup melalui budaya, sejarah, dan ketahanan identitas. Meski tidak lagi memiliki negara, Circassian yang tersebar di seluruh dunia terus mempertahankan warisan leluhur mereka — sebuah bukti bahwa bangsa tidak hanya ditentukan oleh batas peta, namun oleh ingatan dan perjuangan yang diwariskan lintas generasi.
Comments
Leave a Reply