By Nyong
INDOSNEWS — Istilah “Kumaha Engke” (Gimana nanti) dan “Engke Kumaha” (Nanti gimana) belakangan ini mencuri perhatian publik, terutama setelah dikutip dalam salah satu pidato Presiden Republik Indonesia ke-8. Meski terdengar sederhana, kedua ungkapan ini memuat makna mendalam, terutama dalam konteks pengambilan keputusan dan manajemen risiko.
Secara makna, “Kumaha Engke” merepresentasikan pola pikir risk taker — individu atau entitas yang berani mengambil langkah meski tanpa pertimbangan matang atas dampaknya. Ini adalah pendekatan improvisatif, penuh spontanitas, dan terkadang nekat: jalan dulu, baru lihat nanti.
Di sisi lain, “Engke Kumaha” mencerminkan sikap penuh perhitungan, selaras dengan prinsip kehati-hatian (prudence). Pendekatan ini menekankan evaluasi risiko, kajian mendalam, serta kesiapan menghadapi berbagai skenario sebelum bertindak.
Tak berhenti di sana, pola pemikiran ini juga terlihat dalam permainan kata lain, seperti:
“Ada apanya” (sikap eksploratif, berani menghadapi risiko) vs. “Apa adanya” (menerima realitas secara stabil);
“Siapa saya?” (reflektif, penuh kesadaran) vs. “Saya siapa!” (impulsif, cenderung sembrono).
Pidato Presiden membawa harapan baru bahwa pemerintah tidak lagi sekadar mengandalkan “Kumaha Engke”, tapi mulai mempraktikkan “Engke Kumaha” — perencanaan yang matang, kajian kelayakan (feasibility study), dan penerapan prinsip tata kelola yang baik (good governance).
Jika pendekatan ini diterapkan secara konsisten, ada optimisme besar bahwa proyek-proyek strategis pemerintah akan memenuhi prinsip OTOBOSOR: On Time, On Budget, On Spec, dan On Return.
“Semoga saja, kita lihat nanti — tentu saja, dengan hati yang lebih optimis,” tulis Paman BED, atau Roy Wijaya dari Rumah Creative, yang ikut menyoroti fenomena ini.
Roy Wijaya

0 Yorumlar